KEMERDEKAAN DALAM NAUNGAN PETUALANGAN


Agustus memang banyak membawa warna dalam kehidupan saya. Di masa-masa saya telah mencapai 17 tahun, kegiatan memperingati kemerdekaan tak lagi diisi dengan upacara atau ceremoni-ceremoni lainnya. Di masa-masa itu dan sampai saat ini, untuk mewarnai hari kemerdekaan saya melakukan renungan dalam bentuk kegiatan petualangan. Bagi saya, sangat tidak bermanfaat untuk melakukan kegiatan yang berbau euforia. 

Pada tanggal 16 Agustus 2012 tepatnya di pagi hari, saya bersama dua orang teman berasal dari Ambon melakukan petualangan ke Mahameru. Terlepas dari apa tujuan teman saya berdua, saya punya tujuan untuk melakukan refleksi diri di bawah naungan langit biru dan alam yang indah di Mahameru. Perjalanan pun di mulai dan di hari pertama malam hari kami menginap di Ranukombolo yaitu danau yang terletak di tengah-tengah pegunungan Semeru. 

Di kemudian harinya saat 17 Agustus 2012, lebih tepatnya pada jam 01.23 subuh. Saya keluar menyendiri dengan sebuah gelas teh yang terasa menyembuhkan kedinginan merambah ke tubuh. Angin berhembus dengan gaya angin danau, yang terdengar menyeramkan dan seakan-akan membawa banyak pertanyaan, singkatnya renungan pun di mulai.

Sebenarnya, saya ingin menumpahkan pengalaman yang bernilai tersebut dalam tulisan ini. Di awali dengan pertanyaan, untuk apa saya memilih hari kemerdekaan ini untuk merenung sesaat ? Kemudian muncul pemikiran juga bisikan dari Tuhan. Hari kemerdekaan ini sebenarnya hanyalah hari biasa seperti hari-hari lainnya. Namun ingatan itu terbayang kembali, tentang cerita-cerita para Pahlawan yang mengangkat bambu untuk memenangkan jiwa raga juga bangsa yang merdeka. 

Tekanan yang mendalam tentang perbudakan, dan kesengsaraan jiwa membuat para pendahulu-pendahulu kami berperang dan berjuang dengan modal mental kebebasan dan keberanian. Saya tahu dengan benar, bahwa tekanan-tekanan penderitaan tersebut yang membuat para pendahulu bangsa Indonesia menjadi bermental baja dan bermodal keberanian selangit.

Saya mengingat kembali, teman saya pernah bertanya. Bagaimana jadinya kalau kita tidak di jajah Belanda ? Bagaimana jadinya kalau kita tidak jadi merdeka saat itu ? Mungkin sekilas pertanyaan ini terlihat bagus. Tapi saya sarankan kepada para pembaca, berhentilah bertanya tentang merubah hal-hal yang telah terjadi, karena jawabannya hanya berupa khayal dan asumsi belaka. Pertanyaan sebenarnya apa yang harus kita perbuat hari ini setelah mengetahui pelajaran-pelajaran yang di berikan oleh para pendahulu kita.

Dari renungan ini, saya berpendapat bahwa hari ini sebagian besar rakyat Indonesia tidak perlu bertaruh tentang hal-hal sangat penting dengan ego masing-masing, seperti nyawa dan kebebasan. Kita dimudahkan dengan perlindungan negara, dan sistem pemerintahan yang telah dikerjakan oleh para pakar. Ada yang bilang, hari ini kita tidak perlu lagi berperang dengan senjata tapi dengan buku dan pulpen. Namun sebenarnya, hal ini telah dilakukan oleh sebagian besar rakyat Indonesia juga. Bukti yang nyata adalah sekolah dari SD hingga SMA dan lanjut ke Universitas. Di mana di sekolah kita belajar tentang banyak hal meliputi IPTEK. Dan hingga saat ini saya bertanya ke dalam diri, terus yang kurang apa ? Mengapa banyak yang mengatakan Indonesia adalah bangsa yang belum merdeka sepenuhnya. 

Hingga di malam ini saya mempertegas jawaban atas pemikiran-pemikiran yang menumpuk. Bahwa bangsa ini tidak punya karakter. Sekolah hanya mengajarkan kita untuk berilmu pengetahuan namun tidak punya mental baja dan keberanian selangit yang dikemas dengan semangat pemenang seperti pendahulu-pendahulu kita. Hari ini sangat banyak sekolah yang tidak mengajarkan tentang menikmati sebuah keindahan. Tidak banyak sekolah yang mengajarkan indahnya mempertahankan keteguhan hati dalam berprinsip. Sekolah hanya mengajarkan menjadi sukses dengan menjadi kaya raya dengan uang. Tapi tidak dengan keteguhan hati, keperkasaan jiwa, berkarisma, dan tentunya dengan menginspirasi orang lain untuk berbuat baik. Maka tidak salah dan saya merasa adalah kewajaran jika korupsi yang kini kian naik namanya, menjadi kebiasaan para pejabat.

Karakter seorang petarung, selalu menyimpan semangat membara untuk melawaan kenistaan dan pembunuhan harga diri. Sangat sedikit saya menemui orang yang rela mati untuk mempertahankan harga diri, prinsip intelektualitasnya, dan menempuh jiwa kebebasannya. Hari ini sangat sedikit sekolah yang mengajarkan tentang keindahan sebuah lukisan, berharganya sebuah sejarah, harmoni sebuah musik yang menenangkan jiwa para pejuang, prinsip Nasionalisme yang menggetarkan jiwa. Untuk apa euforia yang di gelar di setiap daerah di Indonesia dalam upacara-upacara itu. Apakah masih ada para petinggi negara, heningnya dari sebuah lagu ‘Hening Cipta’ ? Saya rasa sudah sangat sedikit.

Kerapian dan penampilan yang mahal jadi sebuah panutan. Padahal kalau penampilan adalah sebuah ukuran maka seharusnya tidak ada para pejabat berpenampilan mahal korupsi. Kemirisan ini seharusnya di jawab dengan keteguhan jiwa dari semangat para pendahulu.

Mari kita latih jiwa kita untuk lebih berkarakter pemenang dan menjadi orang bebas. Tentunya dengan bertanggung jawab atas pilihan kita. Para tokoh harusnya bisa memberikan contoh yang baik tentang kehidupan seorang yang teguh, berpendirian, jujur, bertanggung jawab, dan diselimuti semangat kemenangan dalam setiap tantangan. Itulah yang terjadi di pagi itu.

Kemudian di hari berikutnya untuk menyelesaikan petualangan saya. Kami melanjutkan ke puncak dan menikmati keindahan alam yang bebas dan penuh pesan moral. Awan-awan bersusun rapi menampakkan kekokohan sebuah dunia di mana kita berteduh di bawahnya. Puncak Mahameru kokoh berdiri bagaikan memberi pesan ‘Jangan pernah coba-coba untuk jadi orang yang lemah’. Tanpa adanya kesombongan saya sampaikan tulisan ini untuk para sahabat sebangsa dan setanah air semua. Semoga bisa menginspirasi. 

Salam Jabat Erat dan Salam Hangat dari penulis

Demikian

This entry was posted on Thursday, August 1, 2013. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply