BERMAIN DI LUMPUR SEMPU

Hari Sabtu tanggal 31 Desember 2011 tepat jam 3 pagi saya dan rombongan IKAMI SulSel mulai beranjak dari Sekretariat menuju alat transportasi (trek) menuju ke Rumah Ayahanda Muhamad Yusuf. Rumah tersebut terletak di kawasan Sendang Biru. Di dalam kas trek kami berkumpul sebanyak 39 orang, ada yang duduk dan ada yang berdiri. Sebenarnya berdiri dan duduk punya resiko yang cukup mengerikan bagi saya, yang berdiri harus memperkuat pondasi kakinya untuk mempertahankan posisinya dari kerasnya likukan jalannya transportasi demikian pula dengan yang duduk harus berkutat dengan kondisi perut yang tidak bisa tawar menawar antara muntah dan tidak. Kondisi yang lebih menyiksa lagi adalah bauran kondisi para peserta yang memang bisa dipastikan akan saling mempengaruhi, jika salah satu muntah pasti yang lain juga ikut muntah. Tetapi untungnya saya berada dalam posisi duduk dan tidak merasakan kesusahan kondisi perut yang cukup menyiksa. Hahahahahahaha, Sorri kawan-kawan rejeki ku barangkali. Kurang lebih seperti itulah kondisi dalam kas trek saat perjalanan ke Sendang biru.

Sesampainya di sendang biru sekitar jam 5 pagi masih di hari yang sama, kami mulai bersiap siap menuju pantai Barat sendang biru untuk menyebrang ke pulau sempu. Karena perahu yang kecil mau tidak mau barang dan orangnya harus di Load bertahap, kalau tidak salah per 10 orang kami menyebrang dari pantai barat ke pulau sempu. Karena saya yang pertama menyebrang, pada awalnya saya tidak mengetahui kalau ternyata Skiper perahu tidak mengetahui lokasi mendarat kita di pulau sempu. Setelah saya merasa arah perahu mulai berbeda kami memberitahu bahwa kami mendarat di Teluk Wawa yaitu lokasi start untuk menuju ke Segara Anakan (Kolam Pantai di Dalam Pulau Sempu).

Saya memulai perjalanan sendiri dengan membawa beban yang saya anggap berat karena bagaimana tidak berat dari Ransel yang saya bawa sekitar 25 kilo sementara berat badan saya hanya 45 kilo. Inilah yang namanya Over Load beban, tapi tetap saja saya memaksakan untuk jalan sendiri karena perhitungan spasi Camping yang harus di kejar secepat mungkin. Secara lengkap apa yang menempel di badan saya adalah pakaian Flanel, celana pendek, dan sepatu Abri yang betul-betul membutuhkan keahlian untuk memakainya walaupun akhirnya saya keseleo karena menggunakan sepatu itu.

Lima belas menit perjalanan memang beban tersebut terasa berat, tapi untuk waktu berikutnya seperti biasa saja. Mungkin badan saya telah beradaptasi, tapi tetap saja kakiku tak mau beradapatasi dengan sepatu yang saya gunakan. Dalam perjalanan seperti biasa tanah yang penuh lumpur dan kontur tanah tak menentu harus dilewati. Sekitar 2 jam lebih 30 menit saya sampai di pantai segara anakan. Kondisi di sana sangat ramai tak seperti biasanya. Saya dan beberapa teman yang juga telah mendahului saya mulai istirahat sejenak di tengah terik matahari pantai.

Kami menunggu sekitar 1 jam untuk menunggu kedatangan teman-teman yang lainnya. Setelah semua datang di mulailah kerja sama yang baik untuk membangun perangkat camping yang seperti biasanya. Kami mulai membangun semua tenda dan juga membuat dapur umum. Sesuai jadwal yang ditentukan oleh fasilitator, maka kami makan dan istirahat sejenak hingga menunggu malam tiba.    

Di malam yang cukup hangat dengan nuansa pantai yang sejuk kawan kawan yang lain mulai memainkan gitar, saya sendiri bertengger di dapur umum bercerita tentang kehidupan bersama kawan yang lainnya. Banyak hal yang terjadi di luar kendali saya karena tidak tergabungnya saya di kelompok besar yang bercerita dan bernyanyi hingga pergantian tahun terjadi.

Tapi pada dasarnya seni dan keindahan perjalanan ini bukanlah pada moment pergantian tahun. Tetapi pada saat perjalanan pulang, dimana lumpur mulai menyelimuti jalur pulang untuk kembali ke teluk wawa.
Inilah yang namanya bermain lumpur, pada awalnya saya sudah menetapkan tekad untuk berjalan sendiri. Mulai meninggalkan pantai saya bersama Kakanda Aris Setiawan berjalan berdua, tapi perlahan dia mulai meninggalkan saya untuk bergabung bersama rombongan di depan. Kali ini karena kaki saya sudah tak tahan untuk menggunakan sepatu Abri maka saya hanya menggunakan sandal untuk menempuh perjalanan.

Lumpur terus menempel di kakiku saat berjalan walaupun saya memakai sandal. Nah, mulai dari sini saya banyak menyinggahi pesisir laut untuk membersihkan sekitar dua kali. Kemudian saya berjalan perlahan, karena saya masih punya banyak waktu untuk menempuh perjalanan.

Hujan mulai datang perlahan dengan senyuman karena memberi saya keleluasan berpikir tentang perjalanan yang telah saya lakukan. Hatiku mulai berdegup kencang saat melihat hutan yang diguyuri hujan, terasa sangat indah di mataku dengan bau hutan yang selalu memberi warna ceria di sekujur tubuh. Dalam moment ini saya mulai duduk perlahan dengan pikiran yang menggebu-gebu saat terjadinya keindahan moment yang luar biasa ini. Lumpur bermain-main dengan diriku entah dalam ataupun tidak mereka selalu memberikan kesenangan dan kedinginan yang khas. Pelan pelan saya mulai bangun dan berjalan kembali, sungguh terasa nikmatnya sebuah peristirahatan. Lumpur mulai tersenyum lagi padaku dengan segala kedalaman yang dia tawarkan, saya mulai terasa risih dengan sandal yang saya gunakan. Kemudian saya melepas sandal dan berjalan tanpa alas kaki sambil pelan monyet mengikuti saya di atas pohon. Moment tersebut sangat saya ingat, berjalan sambil tersenyum sambil di guyuri hujan, bermain dengan lumpur, dan diikuti oleh monyet. Sungai-sungai yang dulunya kering mulai terisi kembali berwarna coklat namun tetap saja asyik. Saya melihat ular yang cukup besar, berjalan-jalan menjauh ke arah hutan lebat. Luar biasa kondisi yang ditawarkan hari itu. Seakan tak ingin lewat lumpur itu terus mengikuti saya sampai dititik ia mulai jenuh. Hal yang tak bisa di dapat di moment-moment yang terencana, karena hal ini sangatlah mengandung unsur ketidak pastian. Hingga hal yang tidak pasti menjadi sebuah keindahan yang tak bisa kita taksir seberapa indahnya hal tersebut. Hutan mulai kembali menunjukkan keperkasaannya di saat itu dan saya sangat bangga menjadi saksi atas terjadinya hal tersebut. Dengan senyuman saya menatap hal itu seiring jantungku berdegup kencang. Datanglah beberapa pertanyaan yang menghasilkan jawaban ternyata saya harus menghormati sebuah rumah yang besar bersama pemiliknya.

“Mari menghormati si tuan Rumah dengan segala perangkat yang diperlukan”



This entry was posted on Sunday, January 1, 2012 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply